Rabu, 02 April 2014

Aristoteles



. Siapakah Aristoteles?
Meskipun nama filosof ini sudah sangat populer di kalangan kaum intelektual dan akademikus,terutama di kalangan para mahasiswa filsafat, namun biografi dan latar belakangnya belum banyak yang mengetahui, terutama di kalangan para pemula pengkaji filsafat. Maklum di Indonesia, nama-nama filosof seperti Aristoteles ini, hanya beken di linkungan universitas, sementara di SD/SMP/SMU/Pesantren belum diperkenalkan. Maka wajar banyak para siswa, mahasiswa santri dan bahkan kiai yang masih asing dengan tokoh ini. Kalaupun mengetahui paling banter hanya sebatas namanya dan tanggal lahirnya saja.
Padahal kalau berbicara soal pemikiran tokoh, maka unsur biografi yang sangat berpengaruh terhadap konstruk ide dan pemikirannya jelas bukan sekedar tanggal lahir, melainkan pada latar belakang kebudayaannya yang luas; yang meliputi kondisi keluarga,struktur masyarakatnya,dunia pendidikannya, mitra belajarnya,guru-gurunya dan seterusnya. Dengan melihat kondisi di Indonesia sperti sekarang, terutama di kalangan ulama Islam, jelas berbeda dengan para ulama-ulama Islam tempo dulu seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Shina, Ibnu Rusyd dan seterusnya; yang mana mereka terkenal sebagai tokoh Islam tetapi mereka juga akrab bahkan apresiatif dan kritis terhadap pemikiran-pemikiran Barat seperti pemikirannya Aristoteles dan Plato.
Selanjutnya, siapakah Aristoteles itu? Ia dilahirkan pada 384 SM di Stageira, Thrace sebuah kota di Yunani Utara. Dilihat dari posisi keluarganya, Aristoteles berasal dari kelas elit. Ayahnya adalah seorang dokter pribadi raja Makedonia II, Amyntas. Jelas keluarganya merupakan orang berpendidikan.Dilihat dari  keluarganya inilah, ada sebuah dugaan bahwa spirit dan kecintaan Aristoteles terhadap ilmu pengetahuan dan filsafat merupakan pengaruh dari keluarganya.
Pada umur sekitar 17/18 tahun, Aristoteles dikirim ke Athena untuk berguru kepada Plato---seorang pendiri dan sekaligus rektor universitas terkenal di Yunani pada waktu: Akademia. Ia belajar di Akademia hingga Plato meninggal. Di universitasnya Plato ini, ia tidak sekedar belajar, melainkan juga mengajar para santri Akademia yang lebih yunior tentang logika[1][3] dan retorika.
Paska wafatnya Plato, Akademia dipimpin oleh Speusippos. Ketika Akademia di bawah kepemimpinan Speusippos inilah, Aristoteles bersama murid Akademia yang lainnya, Xenokrates, meninggalkan Akademia karena berbeda pandangan dengan Speusippos soal filsafat. Filsafat oleh Speusippos cenderung disederajatkan dengan matematika[2][4].
Karena perbedaan itulah Aristoteles minggat dari Athena dan menuju Assos, sebuah daerah di pesisir Asia kecil. Pada waktu itu Assos berada di bawah kekuasaan Hermias. Dan Hermias sendiri adalah alumni Akademia yang telah meminta Plato mengirimkan dua orang muridnya, Erastos dan Koriskos, ke Assos untuk membuka sekolah baru di daerah itu. Maka, ketika Aristoteles sampai di daerah kekuasaan Hermias itu, ia dan sahabatnya itu bergabung dengan civitas akademika di Assos untuk ikut berperan sebagai pengajar.
Di sini pula Aristoteles menikah dengan kemenakan Hermias, Pythias. Namun, ketika 345 tragedi politik terjadi yakni Hermias telah dibunuh oleh tentara Persi. Pembunuhan ini memaksa Aristoteles meninggalkan Assos dan pergi ke Mytilene di kepulauan Lebsos yang jaraknya tidak jauh dari Assos. Di dua daerah pelarian inilah (Assos dan Mytilene) Aristoteles telah berhasil melakukan riset tentang binatang (zoology) dan tumbuhan (bootany) yang hasil risetnya itu dibukukan dalam sebuah seri bernama Historia Anemalium.
Ketika pada 342/343SM[3][5] Aristoteles dipanggil oleh raja Makedonia, Philippos, keturunan dari Amyntas II, untuk mengajar anaknya yang bernama Alexander yang waktu itu berusia 13 tahun.Banyak orang berpandangan soal kebesaran dan kesuksesan Alexander terkait dengan hubungannya dengan Aristoteles. Padahal hubungan antara guru dan murid ini lebih banyak berupa legenda dan belum ditemukan data-data validnya. Bertrand Russell sendiri mengatakan “Perihal pengaruh Aristoteles terhadapnya (terhadap Alexander-red), kita bebas mengajukan dugaan apapun yang kira-kira paling masuk akal. Menurut saya pengaruhnya nihil.”[4][6] 
Selanjutnya pada tahun 340 Alexander diangkat sebagai wakil bapaknya sebagai raja. Tidak lama kemudian pada umur 19 tahun Alexander diangkat sebagai raja Makedonia. Selesailah tugas Aristoteles sebagai guru Alexander. Maka ketika Alexander The Great dilantik menjadi raja Makedonia, Aristoteles kembali ke Athena, tempat dulu ia belajar kepada Plato. Ketika ia kembali ke Athena itu, temannya yang dulu dia ajak pergi ke Assos, Xenokrates, sudah menjadi rektor Akademia. Namun sekembalinya ke Athena Aristoteles tidak lagi bergabung dengan Akademia, karena pemikirannya sendiri sudah lebih berkembang ketimbang pemikiran filsafat madzhab Akademia.
Akhirnya, dengan bantuan dari Makedonia, ia mendirikan universitas sendiri dengan nama Lykeion atau dalam bahasa latinnya Lyceium. Dengan semangat intelektual yang tinggi dari para civitas akademika Lykeion, univeristasnya Aristoteles ini membuka dan mempelajari semua cabang dan disiplin ilmu pengetahuan. Di universitasnya inilah, Aristoteles membangun perpustakaan yang mengumpulkan bermacam-macam manuskrip dan peta bumi; dan menurut Strabo—seorang sejarawan Yunani-Romawi--, itulah perpustakaan pertama dalam sejarah umat manusia.[5][7] Akhirnya Lykeion, pada perkembangan selanjutnya menjadi saingan berat dari Akademia. Persaingan ini membuat Aristoteles semakin bernafsu untuk mempertajam riset-risetnya. Hasilnya, ia tidak hanya dapat menjelaskan prinsip-prinsip sains, tetapi juga mengajarkan politik, retorika dan dialektika.[6][8]
Posisi Arstoteles yang sangat potensial di Athena itu lama kelamaan tidak aman. Ini berkaitan dengan meninggalnya Alexander Agung yang menyebabkan Athena hendak melepaskan diri dari Makedonia. Gerakan anti-Makedonia semakin meluas di Athena dan ini berimbas buruk terhadap Aristoteles. Karena kedekatannya dengan raja Makedonia itu, ia dituduh oleh orang-orang Athena yang anti-Makedonia sebagai atheis dan penyebar ajaran subversif. Karena tuduhan dan serangan-serangan orang-orang Athena itu, ia berpikir lebih bijak: lebih baik meninggalkan Athena. Selanjutnya urusan universitas Lykeium ia serahkan ke tangan muridnya, Theoprastos dan Aristoteles sendiri pindah dan melarikan diri ke Khalkis dan meninggal di sana pada tahun 322.